Rabu, 23 November 2011

Sejarah Ki Hajar Dewantara


 
 
Sebagai tokoh pendidikan, Ki Hajar Dewantara tidak seperti Ivan Illich atau Rabrindranath Tagore yang sempat menganggap sekolah sebagai siksaan yang harus segera dihindari. Ki Hajar berpandangan bahwa melalui pendidikan akan terbentuk kader yang berpikir, berperasaan, dan berjasad merdeka serta percaya akan kemampuan sendiri. Arah pendidikannya bernafaskan kebangsaan dan berlanggam kebudayaan.
Seorang tokoh seperti Ivan Illich pernah berseru agar masyarakat bebas dari sekolah. Niat deschooling tersebut berangkat dari anggapan Ivan Illich bahwa sekolah tak ubahnya pabrik yang mencetak anak didik dalam paket-paket yang sudah pasti. “…bagi banyak orang, hak belajar sudah digerus menjadi kewajiban menghadiri sekolah”, kata Illich. Demikian pula halnya dengan Rabindranath Tagore yang sempat menganggap sekolah seakan-akan sebuah penjara. Yang kemudian ia sebut sebagai “siksaan yang tertahankan”.
Ada benarnya ketika setiap pendidikan harus mampu mengarah dan mengubah status quo. Dan ini tidak berarti benar ketika menganggap sekolah tidak penting. Anak-anak dengan senang hati, umumnya masih berangkat ke sana. Kita, dan mereka, tahu; bukan mata pelajaran serta ruang kelas itu yang membikin mereka betah. Melainkan teman dan pertemuan. Bisa saja, Illich dan Tagore keliru. Sekolah juga keliru bila ia tidak tahu diri bahwa peranannya tidak seperti yang diduga selama ini. Ia bukan penentu gagal tidaknya seorang anak. Ia tak berhak menjadi perumus masa depan.
Namun, banyak kalangan sering menyejajarkan Ki Hajar Dewantara dengan Rabindranath Tagore, seorang pemikir, pendidik, dan pujangga besar kelas dunia yang telah berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional India, karena mereka bersahabat dan memang memiliki kesamaan visi dan misi dalam perjuangannya memerdekakan bangsanya dari keterbelakangan.
Tagore dan Ki Hajar sama-sama dekat dengan rakyat, cinta kemerdekaan dan bangga atas budaya bangsanya sendiri. Tagore pernah mengembalikan gelar kebangsawanan (Sir) pada raja Inggris sebagai protes atas keganasan tentara Inggris dalam kasus Amritsar Affair. Tindakan Tagore itu dilatarbelakangi kecintaannya kepada rakyat. Begitu juga halnya dengan ditanggalkannya gelar kebangsawanan (Raden Mas) oleh Ki Hajar. Tindakan ini dilatarbelakangi keinginan untuk lebih dekat dengan rakyat dari segala lapisan. Antara Ki Hajar dengan Tagore juga merupakan sosok yang sama-sama cinta kemerdekaan dan budaya bangsanya sendiri. Dipilihnya bidang pendidikan dan kebudayaan sebagai medan perjuangan tidak terlepas dari “strategi” untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah. Adapun logika berpikirnya relatif sederhana; apabila rakyat diberi pendidikan yang memadai maka wawasannya semakin luas, dengan demikian keinginan untuk merdeka jiwa dan raganya tentu akan semakin tinggi.
Di barat, Paulo Freire hadir dengan konsep pendidikan pembebasan. Di sini, Ki Hajar Dewantara menjadi pahlawan pendidikan nasional karena pendidikan sistem among yang ia kembangkan di taman siswa. Ungkapannya sangat terkenal; “tut wuri handayani”, “ing madya mangun karsa”, dan “ing ngarsa sung tulada”. Istilah inipun tak hanya populer di kalangan pendidikan, tetapi juga pada berbagai aspek kehidupan lain.
Siapakah sebenarnya tokoh pelopor pendidikan bangsa ini?
Siapa sih, yang tidak kenal dengan tokoh yang satu ini? Pejuang gigih, politisi handal, guru besar bangsa, pendiri Taman Siswa, memang sudah diakui oleh sejarah. Tapi sebagai pribadi yang keras tapi lembut, ayah yang demokratis, sosoknya yang sederhana, penggemar barang bekas, belum banyak orang tahu. Bahkan bagaimana tiba-tiba dia dipanggil dengan nama Ki Hajar Dewantara juga belum banyak yang tahu.
Tokoh peletak dasar pendidikan nasional ini terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, dilahirkan di Yogyakarta pada hari Kamis, tanggal 2 Mei 1889. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Pendidikan dasarnya diperoleh di Sekolah Dasar ELS (sekolah dasar Belanda) dan setelah lulus, ia meneruskan ke STOVIA (sekolah kedokteran Bumi putera) di Jakarta, tetapi tidak sampai selesai. Kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedya Tama, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia tergolong penulis tangguh pada masanya; tulisan-tulisannya sangat tegar dan patriotik serta mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain menjadi seorang wartawan muda R.M. Soewardi juga aktif dalam organisasi sosial dan politik, ini terbukti di tahun 1908 dia aktif di Boedi Oetama dan mendapat tugas yang cukup menantang di seksi propaganda. Dalam seksi propaganda ini dia aktif untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Setelah itu pada tanggal 25 Desember 1912 dia mendirikan Indische Partij yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka, organisasi ini didirikan bersama dengan dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo. Organisasi ini berusaha didaftarkan status badan hukumnya pada pemerintahan kolonial Belanda tetapi ditolak pada tanggal 11 Maret 1913, yang dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil pemerintah Belanda di negara jajahan. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap oleh penjajah saat itu dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda

Keras tapi Tidak Kasar. Inilah ciri khas kepribadian Ki Hajar yang diakui rekan-rekan sejawatnya. Kras maar nooit grof, keras namun tidak pernah kasar. Kesetiaan pada sikapnya ini terlihat jelas pada setiap kiprahnya.
Ketika partainya, Partai Hindia atau Indische Partij (IP) dibredel pemerintah Belanda (1912), dia tidak putus asa. Kritik pedas kepada penjajah juga dilancarkan lewat artikelnya dalam de Express November 1913, berjudul Als ik eens Nederlander was (Seandainya saya orang Belanda). Dengan sindiran tajam, tulisan itu menyatakan rasa malunya merayakan hari kemerdekaan negerinya dengan memungut uang dari rakyat Hindia yang terjajah. Soewardi bahkan mengirim telegram kepada Ratu Belanda berisi usulan untuk mencabut pasal 11 RR (Regerings Reglement – UU Pemerintahan Negeri Jajahan) yang melarang organisasi politik di Hindia-Belanda. Karuan saja, akibat tulisan itu Ki Hajar dibuang ke Belanda pada Oktober 1914. Padahal dia baru saja mempersunting R.A. Sutartinah. Jadi, terpaksa dia harus berbulan madu di pengasingan.
Dalam masa pembuangan itu tidak dia sia-siakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga berhasil memperoleh Europesche Akte. Setelah kembali ke tanah air di tahun 1918, ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Diwujudnyatakan bersama rekan-rekan seperjuangan dengan mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau lebih dikenal dengan Perguruan Nasional Tamansiswa pada 3 Juli 1922, sebuah perguruan yang bercorak nasional.
Perguruan nasional Taman Siswa mencoba memadukan model pendidikan barat dengan budaya-budaya negeri sendiri. Namun, kurikulum pemerintah Hindia Belanda tidak diajarkan, karena garis perjuangan Ki Hajar bersifat non-kooperasi terhadap pemerintah kolonial. Sifatnya mandiri.
Tak hanya dalam bersikap, secara fisikpun Ki Hajar memiliki keberanian yang mencengangkan. Ini terkuak dalam peristiwa rapat umum di Lapangan Ikada (sekarang Monas), 19 September 1945. Saat itu pemerintah R.I. menghadapi tantangan, apakah presiden dan jajaran kabinetnya berani menembus kepungan senjata tentara Jepang di sekeliling lapangan. Sebagian menuntut Presiden, Wapres, dan segenap anggota kabinet hadir di Lapangan Ikada agar tidak mengecewakan rakyat. Yang lain menolaknya denga n pertimbangan keselamatan.
Akhirnya, semua sepakat untuk hadir. Tapi, siapa menteri yang harus membuka jalan memasuki Lapangan Ikada, sebelum rombongan presiden. Karena ada kemungkinan Jepang membantai rombongan menteri yang pertama masuk Ikada untuk mencegah keberhasilan Pemerintah RI menyatakan eksistensinya kepada rakyat dan dunia internasional. Pada saat kritis inilah sebagai Menteri Pengajaran Ki Hajar unjuk keberanian. Bersama Menlu Mr. Achmad Subarjo, Mensos Mr. Iwa Kusuma Sumantri, ia menyediakan tubuhnya menjadi tameng. Padahal bapak enam anak itu bisa dibilang tak lagi muda. Ketika diingatkan oleh Sesneg Abdul Gafur Pringgodigdo, “Ingat, Ki Hajar ‘kan sudah tua.” “Justru karena itulah, mati pun tidak mengapa,” jawab Ki Hajar enteng.
Sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan pendiri Tamansiswa, Ki Hajar memang tidak sendirian berjuang menanamkan jiwa merdeka bagi rakyat melalui bidang pendidikan. Namun telah diakui dunia bahwa kecerdasan, keteladanan dan kepemimpinannya telah menghantarkan dia sebagai seorang yang berhasil meletakkan dasar pendidikan nasional Indonesia. Ki Hajar bukan saja seorang tokoh dan pahlawan pendidikan ini tanggal kelahirannya 2 Mei oleh bangsa Indonesia dijadikan hari Pendidikan Nasional, selain itu melalui surat keputusan Presiden RI no. 395 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959 Ki Hajar ditetapkan sebagai pahlawan Pergerakan Nasional. Penghargaan lainnya yang diterima oleh Ki Hajar Dewantara adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada di tahun 1957.
Orang seringkali lupa, semboyan tutwuri handayani adalah bagian dari kesatuan yang lengkapnya berbunyi, ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Di depan memberi teladan, di tengah menghidupkan gairah, di belakang memberi pengarahan. Mungkin, peristiwa di atas sekaligus bisa memberi jawaban, apakah yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin kalau anak buahnya terancam bahaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar